Senin, 08 Agustus 2016

PERDAGANGAN ANAK - BERKEDOK ADOPSI


Adopsi Yang Tidak Sesuai Prosedur Beda Tipis Dengan Perdagangan Anak


Bisa diamati, di masyarakat masih banyak proses adopsi secara langsung yang tidak sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan melalui peraturan pemerintah ataupun penetapan pengadilan. Tidak sedikit orang tua angkat yang mengadopsi anak secara langsung dari orangtua biologis (yang tidak memiliki hubungan keluarga atau bahkan orang yang tidak dikenal) dengan imbalan memberikan sejumlah uang tertentu ataupun melalui jasa perantara. Karena hal inilah proses adopsi anak dan perdagangan anak bisa dibilang beda tipis.

Padahal sudah jelas ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perihal pengangkatan anak atau adopsi. Adapun peraturan perundang-undangan yang dimaksud beberapa diantaranya adalah yaitu Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan juga PP No.54 tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak.


Sasaran Empuk Perdagangan Anak




Siapa sasaran empuk perdagangan anak? Bukan rahasia lagi bila anak-anak korban bencana alam menjadi salah satu sasaran empuk pelaku perdagangan anak dan adopsi ilegal. Bukan hanya itu saja, bahkan anak-anak korban bencana alam juga menjadi incaran penculikan sampai pelecehan seksual.

Hal ini seperti dilaporkan dari hasil penyelidikan UNICEF(United Nations International Children's Emergency Fund), yang telah melakukan peninjauan di sejumlah kawasan bencana seperti di Aceh, Nepal, dan Haiti. Diketahui kejahatan perdagangan manusia yang khususnya perdagangan anak, yang sangat di khawatirkan adalah anak-anak korban bencana alam atau anak-anak yang terpisah atau kehilangan anggota keluarganya karena bencana alam.

Sasaran empuk pelaku perdagangan anak adalah anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu. Lebih lanjutnya mereka yang memiliki kondisi tidak berdaya baik secara ekonomi, psikis, atau pisik.
Contohnya dapat kita lihat pada kasus orang tua biologis yang tidak mampu menebus anaknya keluar dari rumah sakit pasca melahirkan, sementara di lain pihak ada orang tua yang memanfaatkan keadaan yang demikian itu bisa membayarnya/menebusnya kemudian mengambil alih hak asuh atas anak tersebut. Hal itu sudah termasuk perdagangan anak. 

Kemiskinan memang masih menjadi akar permasalahan perdagangan anak di Indonesia yang paling kongkrit. Tidak sedikit orang tua yang secara nyata dan penuh kesadaran sengaja memberikan anaknya untuk orang lain dengan mematok harga tertentu, atau melalui perantara untuk mencarikan orangtua angkat yang bersedia membayar.

Sementara di Indonesia sendiri, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mencatat terdapat ratusan anak yang diperjualbelikan . Pihak KPAI menjelaskan  sejak tahun 2011 sampai dengan Bulan Juli 2016, Kasus Perdagangan Anak mengalami peningkatan. Sehingga meski negara sudah memberikan perlindungan kepada anak dari perdagangan anak melalui sejumlah perangkat peraturan perundang-undangan, namun dalam implementasinya masih jauh dari harapan.

Perdagangan Anak Berkedok Adopsi

Pihak KPAI menyebutkan dari 20.000 kasus perdagangan anak sedikitnya ada kurang lebih 20% kasus perdagangan anak di Indonesia yang berkedok adopsi. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia wajib melakukan pengawasan pada sistem adopsi.

Perdagangan anak bermotif adopsi dapat dikatakan sebagai salah satu akibat dari modernisasi. Di sejumlah negara Barat yang memiliki tingkat kemakmuran tinggi tidak dipungkiri membawa pemikiran baru dalam hal pernikahan dan keluarga. Sebut saja di Skandinavia, dimana kaum wanita disana memilih untuk tidak menikah, ataupun kalau menikah ia tidak ingin hamil dan melahirkan anak. Pemerintah Skandinavia bahkan sampai kewalahan memberi imbalan hadiah bagi wanita yang berkenan melahirkan anak. Namun , warga Skandinavia yang sudah sukses membangun perekonomian tidak mengindahkan tawaran hadiah tersebut. Kebanyakan mereka lebih rela mengeluarkan dana besar untuk mengadopsi anak.

Kebutuhan adopsi massal inilah yang secara tidak langsung membuat praktik perdagangan anak semakin gemuk. Di sisi lain di negara berkembang yang didominasi warga miskin menjadi sasaran empuk pengadopsian anak melalui perdagangan. Perlu diketahui, terdapat kurang lebih 300 laporan anak hilang pasca bencana Tsunami Aceh beberapa tahun yang lalu. Tidak sedikit yang menduga anak-anak yang tersebut selain hilang diterjang tsunami, juga menjadi korban perdagangan anak.

Untuk perdagangan yang berkedok adopsi ini tidak hanya mengincar anak-anak balita saja. Parahnya ada pula janin yang diperdagangkan. Kasus ini banyak ditemui di perbatasan Indonesia-Malaysia. Ambil contoh kasus pada tahun 2003 lalu, janin berkulit gelap dan bermata bundar dihargai RM 10.000-RM 15.000 (kurang lebih setara dengan Rp 15juta - Rp 22,5juta, untuk kurs RM 1 = Rp 1.500,- tahun 2003), sedangkan janin berkulit putih dan bermata sipit dibandrol lebih mahal seharga RM 18.000-RM 25.000 (kurang lebih setara dengan Rp 27juta- Rp 37,5juta, untuk kurs RM 1 = Rp 3.000,- tahun 2003)

Untuk kasus perdagangan janin, pada umumnya jaringan pelaku perdagangan anak mengincar wanita hamil diluar nilah atau korban perkosaan. Mereka dirayu dengan janji iming-iming uang, hadiah, pekerjaan bagus, atau dinikahi asalkan mau dibawa ke luar negeri. Namun nyatanya mereka hanya ditampung di dalam suatu tempat penampungan khusus wanita hamil. Setelah bayinya lahir akan diminta paksa dan diambil, kemudian ibunya diusir atau dipulangkan.

Melawan Perdagangan Anak



Perdagangan anak baik yang berkedok adopsi ataupun menggunakan modus lain sudah sepantasnya dilawan. Mengapa demikian? Karena hal ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia. Adapun upaya penyelamatan anak dari ancaman perdagangan anak bisa dilakukan dengan memberi hukuman seberat-beratnya terhadap pelaku, perlindungan untuk korban, serta peningkatan kerjasama antara jejaring kelembagaan sosial selaku pengawasan dan aparat hukum selaku penindakan sanksi. Berdasar hasil pemantauan KPAI, peta perdagangan anak di Indonesia sudah mencakup sebagian besar daerah di tanah air. Oleh karena itulah, tidak akan cukup bila hanya mengandalkan upaya dari pemerintah saja tetapi juga dibutuhkan kerjasama dari semua pihak, termasuk para orang tua.





0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2015 Femalixious
| Distributed By Gooyaabi Templates